Eye in the sky adalah film bagus yang menggambarkan bagaimana manajemen risiko beroperasi. Rilis film sudah agak lama, tapi saya baru-baru ini saja nontonnya… 🙂 Dan mungkin menjadi referensi bagus bagi Anda yang mengkomunikasikan ISO 31000 Risk management-Principles and guidelines di tempat kerja.
Bagi saya, film ini sarat dengan nilai-nilai kemanusian yang universal. Tak peduli apakah perbedaan latar belakang, ras, agama, dan kepentingan, kenal atau tidak kenal, nilai kepedulian dan empati sebagai sesama kerap hadir menjadi tali rasa antar manusia.
Dan entah bagaimana proses itu, orang-orang baik terseret ke dalam situasi konflik yang menyebabkan saling serang, situasi dengan maju atau pun mundur berisiko menimbulkan korban sesama manusia.
Eye in the sky menceritakan satuan militer gabungan beberapa negara yang sedang memburu sejumlah orang yang masuk daftar teroris di Afrika Timur. Para teroris ini diidentifikasi dari kelompok al Shabaab yang baru saja membunuh salah satu agen militer gabungan tersebut.
Pada suatu hari para terduga teroris diketahui keberadaannya dalam sebuah rencana pertemuan di salah satu rumah di Kenya. Dengan situasi yang optimistis ini, militer mengundang beberapa pejabat pemerintahan Inggris—seperti jaksa agung, menteri, dan seorang jenderal—untuk menyaksikan aksi penangkapan ini melalui layar monitor di London.
Jadi situasinya semacam teleconference: di London lima pejabat berkumpul menyaksikan melalui monitor, di suatu markas militer Inggris komando operasi taktis dipimpin Kolonel Powell, di Kenya pasukan khusus Kenya bertindak sebagai eksekutor lapangan, sedangkan di Pearl Harbour-Hawai adalah tim militer AS yang mengoperasikan pesawat drone sebagai alat pengintai dan pengambil gambar untuk disaksikan seluruh tim gabungan dan para pejabat Inggris tersebut.
Selain pesawat drone besar yang dioperasikan dari Hawai, ada drone canggih dan keren berbentuk burung kecil, seperti burung kenari, mengintai rumah pertemuan terduga teroris. Drone kecil ini dioperasikan dari sebuah mobil mata-mata di lapangan. Ketika tim eksekutor di Kenya telah siaga untuk penangkapan, di luar dugaan, para terduga teroris ternyata keluar menuju rumah lain di wilayah kekuasaan militer Al Shabaab. Risiko diambil komando lapangan, Kolonel Powell, dengan mengirim mata-mata ke sekitar rumah pertemuan yang kedua ini—rumah yang dijaga ketat oleh militer pro al Shabaab. Sebuah risiko yang dengan berat hati ditanggung tim eksekutor lapangan.
Mata-mata tersebut menyamar sebagai penjual ember air. Di sekitar rumah yang diintai, dia—melalui handphone—mengoperasikan sebuah drone kecil, mungil, berbentuk kumbang, untuk masuk ke rumah target mengambil gambar video yang live tampil di monitor tim Hawai, tim Kolonel Powell, dan para pejabat Inggris. Dari drone kumbang tersebut diketahui bahwa para terduga teroris sudah mempersiapkan dua orang bom rompi-bunuh-diri.
Komando lapangan, kolonel Powell, berkonsultasi kepada Jenderal di Inggris untuk meningkatkan objective dari operasi penangkapan menjadi operasi pembunuhan. Pertimbangannya, jika pelaku bom bunuh diri keluar rumah dan meledakkan diri di keramaian, maka korban diperkirakan sangat banyak. Memaksakan operasi penangkapan di wilayah al Shabaab justru berisiko menjadikan operasi tersebut menjadi pemicu ajang saling membantai dengan jumlah korban sangat besar. Is it risk appetite?
Perubahan rencana ini terbukti cocok dengan antisipasi Powell sewaktu dia menegur bawahannya karena mengurangi jumlah persenjataan pesawat drone sebelum pesawat diluncurkan. Konteks eksternal berubah, objective operasi pun mungkin perlu berubah.
Berlanjut di part II.
Leave a Reply