Kembali pada adegan drone kumbang mata-mata di rumah target. Sesuai gambar video yang diambil, terlihat persiapan bom rompi terus dilakukan, waktu yang dimiliki militer gabungan semakin tipis. Harus ada keputusan cepat. Menurut Powell, pilihan pengeboman melalui pesawat drone dari Hawai yang sudah siap di langit Kenya adalah pilihan terbaik, menggunakan rudal hellfire. Risiko pengeboman drone tersebut lebih bisa diterima daripada dua rompi bom bunuh diri meledak di keramaian kota.
Pilihan kolonel Powell mendapat pertentangan dari penasehat hukumnya karena perubahan tersebut akan melampaui kewenangannya, di mana operasi penangkapan yang meningkat menjadi pembunuhan. Namun Powell tetap menyiapkan pengeboman dengan rudal dari drone AS, sembari menunggu keputusan Jenderal yang berkonsultasi dengan para menteri dan pejabat di london.
Jenderal mengupayakan mendapat keputusan yang cepat agar target operasi bisa ditingkatkan dari penangkapan menjadi pembunuhan. Para pejabat Inggris berbeda pendapat, karena meskipun waktu sudah mendesak, operasi pembunuhan menimbulkan risiko politik yang besar. Dunia dapat menilai bahwa militer Inggris melakukan provokasi, pengeboman di negara yang tidak sedang dalam kondisi perang–meskipun kondisi keamanan labil akibat banyaknya kelompok yang mereka sebut teroris.
Selain risiko tersebut, pengeboman juga berisiko hukum. Terlebih lagi dua di antara terduga teroris adalah warga Inggris, sedangkan satu lagi merupakan warga Amerika. Protokol tentang kondisi ini menjadi simpang siur, terjadi pemahaman yang berbeda-beda di antara para pejabat. Setiap tindakan pengendalian risiko, akan menimbulkan risiko baru.
Waktu terus mendesak segera diambil sebuah keputusan. Setelah menghubungi menteri luar negeri Inggris, seorang pejabat ahli hukum senior, dan Sekretaris Negara AS, akhirnya diputuskan bahwa pengeboman dapat dilaksanakan. Melalui simulasi software komputer, targetter telah menghitung dampak risiko kerusakan pengeboman di sekitar lokasi rumah target yang tidak jauh dari ramainya pasar perkampungan.
Pilot drone di Hawai mengisi checklist persiapan pengeboman. Rudal siap dilepaskan. Tiba-tiba dari layar monitor terlihat gadis kecil penjual roti berjalan, kemudian membuka lapaknya tepat di samping pagar rumah target. Pilot drone ragu, sebuah risiko baru muncul. Jika rudal dilepaskan, sesuai perhitungan targetter, gadis tersebut akan tewas terkena dampak ledakan rudal dan bom yang ada di rumah target. Pilot di Hawai membatalkan peluncuran rudal berdasarkan prosedur yang dipatuhinya, meski dari markas Powell di Inggris memerintahkan sebaliknya.
Perdebatan kembali terjadi. Masing-masing pihak menghitung kembali risiko hukum, politik, dan tentu saja nasib atas gadis kecil penjual roti. Sementara itu tindakan lain diambil, tim lapangan mencoba mitigasi risiko membeli roti gadis tersebut agar segera pulang. Kolonel Powell melalui targetter menganalisa kembali pengurangan dampak jika rudal diarahkan pada bagian lain dari rumah target.
Dan waktu terus mendesak, drone mungil berbentuk kumbang kehabisan baterai, tidak ada lagi tayangan live persiapan rompi bom, hanya perkiraan waktu. Keputusan harus diambil. Besarnya kekuatan untuk meng-counter sebuah risiko yang dihadapi harus sebanding dengan besarnya risiko tersebut.
Akhirnya,…. meski sempat berlinang air mata, operator pesawat drone menembakkan rudal saat gadis kecil penjual roti berjalan beberapa langkah meninggalkan lapaknya. Rumah target hancur lebur, ayah dan ibu gadis penjual roti, yang bertetangga dengan rumah target, kaget dengan adanya bom dan segera berlari mencari anak gadisnya di sekitar lapak jualan roti.
Ayah dan ibu yang terluka itu mendapati anak gadisnya yang telah terluka parah terpapar ledakan rudal dan bom rompi. Mereka menggendong dan berteriak histeris meminta bantuan. Militer al Shabaab yang baru datang ke lokasi menggunakan mobil perang langsung menolong, membawa gadis kecil itu ke rumah sakit.
Pejabat dan militer gabungan yang menyaksikan gadis kecil penjual roti itu termenung….
(iyus- checklist-magazine.com)
Leave a Reply